Sabtu, 23 Februari 2013

Apakah ditundanya penerimaan STAN pada tahun 2011 dan 2012 ada hubungannya dengan kinerja lulusan STAN?

Seperti yang kita ketahui setiap tahunnya STAN selalu membuka pendaftaran mahasiswa STAN, namun yang terjadi pada tahun 2011 STAN hanya membuka pendaftaran untuk program D1 , hal ini tidak seperti biasanya dimana STAN membuka program D3 Akuntansi Pemerintahan, D3 Bea Cukai, D3 Perbendaharaan, D3 Administrasi Perpajakan, D3 PPLN, D3 PBB, dan D1 Bea Cukai.

Apalagi pada tahun 2012 yang lalu STAN sama sekali tidak membuka Pendaftaran,
kemudian timbul pertanyaan Publik (Adik-Adik SMA), ada apa dengan STAN?

Setelah saya browsing di internet alasan utama mengapa STAN tidak membuka pendaftaran untuk D3 pada tahun 2011 dan 2012 adalah karena masalah moratorium pegawai di Kementrian Keuangan, moratorium sendiri menurut kamus besar bahasa indonesia adalah penangguhan atau penundaan , jadi pada intinya untuk tahun 2011 dan 2012 Kementerian Keuangan melakukan Penundaan Penerimaan pegawai Negeri Sipil dikarenakan pada Kementerian tersebut sudah terlalu banyak jumlah pegawainya.

Jadi teramat wajar apabila STAN pada tahun 2011 dan 2012 tidak membuka pendaftaran untuk Program Diploma 3 Reguler, Hal ini juga membuktikan bahwa penundaan penerimaan mahasiswa STAN sama sekali tidak terkait dengan masalah kinerja lulusan STAN.
Karena lulusan STAN sudah teruji kemampuannya dibidang pengelolaan keuangan dan perekonomian Negara.

Apabila penundaan tersebut karena terkait dengan Kinerja lulusan STAN, maka dalam hal ini STAN memang turut bertanggung jawab, dan perlu melakukan langkah evaluasi dari proses perencanaan  sampai akhir, tapi bila saya amati dari proses perekrutan mahasiswa saja,saya rasa mahasiswa STAN adalah mahasiswa pilihan yang memang memiliki kualitas Intelektual yang tinggi karena proses perekrutan mahasiswa STAN sangatlah ketat.
Proses perekrutannya yang ketat sangat tidak memungkinkan terjadi kecurangan. Kalaupun terjadi kecurangan, hal ini akan langsung diketahui karena Ujian Saringan Masuk Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (USM STAN) selalu diawasi dengan sangat baik oleh para pengawas independen, apabila terjadi pelanggaran maka akan dilaporkan ke pejabat berwenang (Polisi).
Sekian cerita saya, semoaga bermanfaat bagi para pembaca :)

Minggu, 17 Februari 2013

Haaaaaaiiiiiiii!!!!

Silahkan mampir di Blog Ane, disini insyaAllah akan terdapat banyak artikel-artikel menarik mengenai hidup Ane dan tentunya banyak ilmu Pengetahuan yang bisa ente temukan,,,

So pantengin terus Blog Absurd ini ya,,, sekian dan terima kasih :)


Sejarah Audit Kinerja Sektor Pemerintah di Indonesia





Selama ini sektor publik tidak luput dari tudingan sebagai sarang korupsi, kolusi, nepotisme, inefisiensi dan sumber pemborosan negara. Keluhan "birokrat tidak mampu berbisnis" ditujukan untuk mengkritik buruknya kinerja perusahaan-perusahaan sektor publik. Pemerintah sebagai salah satu organisasi sektor publik pun tidak luput dari tudingan ini. Organisasi sektor publik pemerintah merupakan lembaga yang menjalankan roda pemerintahan yang sumber legitimasinya berasal dari masyarakat. Oleh karena itu, kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat kepada penyelenggara pemerintahan haruslah diimbangi dengan adanya pemerintahan yang bersih.

Pemerintahan yang bersih atau good governance ditandai dengan tiga pilar utama yang merupakan elemen dasar yang saling berkaitan (Prajogo, 2001). Ketiga elemen dasar tersebut adalah partisipasi, transparansi dan akuntabilitas. Suatu pemerintahan yang baik harus membuka pintu yang seluas-luasnya agar semua pihak yang terkait dalam pemerintahan tersebut dapat berperan serta atau berpartisipasi secara aktif, jalannya pemerintahan harus diselenggarakan secara transparan dan pelaksanaan pemerintahan tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan. Dalam bahasa akuntansi, akuntabilitas (kemampuan memberikan pertanggungjawaban) merupakan dasar dari pelaporan keuangan (Wilopo, 2001). Pelaporan keuangan pemerintah tersebut memegang peran yang penting agar dapat memenuhi tugas pemerintahan yang dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat dalam suatu masyarakat yang demokratis.

Dalam negara demokrasi, "pelaporan keuangan yang transparan" merupakan sesuatu yang dituntut oleh rakyat kepada pemerintahnya. Sebaliknya, dalam negara demokrasi, pemerintah berkewajiban memberikan laporan keuangan yang transparan kepada rakyat. Pemerintah demokratis harus bertanggung jawab atas integritas, kinerja dan kepengurusan, sehingga pemerintah harus menyediakan informasi yang berguna untuk menaksir akuntabilitas serta membantu dalam pengambilan keputusan ekonomi, sosial dan politik. Pemerintah adalah entitas pelapor (reporting entity) yang harus membuat laporan keuangan dengan beberapa pertimbangan berikut : (Partono, 2000) :

a. Pemerintah menguasai dan mengendalikan sumber-sumber yang signifikan

b. Penggunaan sumber-sumber tersebut oleh pemerintah dapat berdampak luas terhadap kesejahteraan ekonomi rakyat

c. Terdapat pemisahan antara manajemen dan pemilikan sumber-sumber tersebut

Laporan keuangan yang dihasilkan oleh organisasi sektor publik pemerintah merupakan instrumen utama untuk menciptakan akuntabilitas sektor publik (Mardiasmo, 2002). Akuntabilitas mengacu pada kewajiban perseorangan, suatu kelompok atau suatu organisasi yang diasumsikan harus melaksanakan kewenangan dan/atau pemenuhan tanggung jawab. Kewajiban tersebut meliputi :

a. Answering, usaha untuk memberikan penjelasan atau justifikasi untuk pelaksanaan dan/atau pemenuhan tanggung jawab

b. Reporting, pelaporan hasil atas pelaksanaan dan/atau pemenuhan

c. Producing, asumsi kewajiban atas hasil yang dicapai

Adanya tuntutan yang semakin besar terhadap pelaksanaan akuntabilitas publik menimbulkan implikasi bagi manajemen sektor publik untuk memberikan informasi kepada publik, salah satunya melalui informasi akuntansi yang berupa laporan keuangan. Dilihat dari sisi internal organisasi, laporan keuangan sektor publik merupakan alat pengendalian dan evaluasi kinerja manajerial dan organisasi. Sedangkan dari sisi eksternal, laporan keuangan merupakan alat pertanggungjawaban kepada publik dan sebagai dasar untuk pengambilan keputusan. Menurut GASB, tujuan laporan keuangan sektor publik adalah (Mardiasmo, 2002) :

a. Mempertanggungjawabkan pelaksanaan fungsinya (demonstrating accountability)

b. Melaporkan hasil operasi (reporting operating result)

c. Melaporkan kondisi keuangan (reporting financial condition)

d. Melaporkan sumber daya jangka panjang (reporting long live resources)

Seiring dengan munculnya tuntutan dari masyarakat agar organisasi sektor publik mempertahankan kualitas, profesionalisme dan akuntabilitas publik serta value for money dalam menjalankan aktivitasnya serta untuk menjamin dilakukannya pertanggungjawaban publik oleh organisasi sektor publik, maka diperlukan audit terhadap organisasi sektor publik tersebut. Audit yang dilakukan tidak hanya terbatas pada audit keuangan dan kepatuhan, namun perlu diperluas dengan melakukan audit terhadap kinerja organisasi sektor publik tersebut. Dan berikut merupakan sejarah Lembaga-Lembaga Pemeriksa yang ada di indonesia.

A. Sejarah Singkat BPKP (DAN, DJPKN, BPKP)

Sejarah Badan PengawasanKeuangan dan Pembangunan (BPKP) tidak dapat dilepaskan dari sejarah panjang perkembangan lembaga pengawasan sejak sebelum era kemerdekaan. Dengan besluit Nomor 44 tanggal 31 Oktober 1936 secara eksplisit ditetapkan bahwa Djawatan Akuntan Negara (Regering Accountantsdienst) bertugas melakukan penelitian terhadap pembukuan dari berbagai perusahaan negara dan jawatan tertentu. Dengan demikian, dapat dikatakan aparat pengawasan pertama di Indonesia adalah Djawatan Akuntan Negara (DAN). Secara struktural DAN yang bertugas mengawasi pengelolaan perusahaan negara berada di bawah Thesauri Jenderal pada Kementerian Keuangan.

Dengan Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 1961 tentang Instruksi bagi Kepala Djawatan Akuntan Negara (DAN), kedudukan DAN dilepas dari Thesauri Jenderal dan ditingkatkan kedudukannya langsung di bawah Menteri Keuangan. DAN merupakan alat pemerintah yang bertugas melakukan semua pekerjaan akuntan bagi pemerintah atas semua departemen, jawatan, dan instansi di bawah kekuasaannya. Sementara itu fungsi pengawasan anggaran dilaksanakan oleh Thesauri Jenderal. Selanjutnya dengan Keputusan Presiden Nomor 239 Tahun 1966 dibentuklah Direktorat Djendral Pengawasan Keuangan Negara (DDPKN) pada Departemen Keuangan. Tugas DDPKN (dikenal kemudian sebagai DJPKN) meliputi pengawasan anggaran dan pengawasan badan usaha/jawatan, yang semula menjadi tugas DAN dan Thesauri Jenderal.

DJPKN mempunyai tugas melaksanakan pengawasan seluruh pelaksanaan anggaran negara, anggaran daerah, dan badan usaha milik negara/daerah. Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 70 Tahun 1971 ini, khusus pada Departemen Keuangan, tugas Inspektorat Jendral dalam bidang pengawasan keuangan negara dilakukan oleh DJPKN.

Dengan diterbitkan Keputusan Presiden Nomor 31 Tahun 1983 tanggal 30 Mei 1983. DJPKN ditransformasikan menjadi BPKP, sebuah lembaga pemerintah non departemen (LPND) yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Salah satu pertimbangan dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 31 Tahun 1983 tentang BPKP adalah diperlukannya badan atau lembaga pengawasan yang dapat melaksanakan fungsinya secara leluasa tanpa mengalami kemungkinan hambatan dari unit organisasi pemerintah yang menjadi obyek pemeriksaannya. Keputusan Presiden Nomor 31 Tahun 1983 tersebut menunjukkan bahwa Pemerintah telah meletakkan struktur organisasi BPKP sesuai dengan proporsinya dalam konstelasi lembaga-lembaga Pemerintah yang ada. BPKP dengan kedudukannya yang terlepas dari semua departemen atau lembaga sudah barang tentu dapat melaksanakan fungsinya secara lebih baik dan obyektif.

Tahun 2001 dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor 103 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen sebagaimana telah beberapa kali diubah,terakhir dengan Peraturan Presiden No 64 tahun 2005. Dalam Pasal 52 disebutkan, BPKP mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan keuangan dan pembangunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jadi dalam hal ini BPKP berfungsi sebagai APIP (Aparat Pengawasan Internal Pemerintah).

Pendekatan yang dilakukan BPKP diarahkan lebih bersifat preventif atau pembinaan dan tidak sepenuhnya audit atau represif. Kegiatan sosialisasi, asistensi atau pendampingan, dan evaluasi merupakan kegiatan yang mulai digeluti BPKP. Sedangkan audit investigatif dilakukan dalam membantu aparat penegak hukum untuk menghitung kerugian keuangan negara.

Pada masa reformasi ini BPKP banyak mengadakan Memorandum of Understanding (MoU) atau Nota Kesepahaman dengan pemda dan departemen/lembaga sebagai mitra kerja BPKP. MoU tersebut pada umumnya membantu mitra kerja untuk meningkatkan kinerjanya dalam rangka mencapai good governance.

Sesuai arahan Presiden RI tanggal 11 Desember 2006, BPKP melakukan reposisi dan revitalisasi fungsi yang kedua kalinya. Reposisi dan revitalisasi BPKP diikuti dengan penajaman visi, misi, dan strategi. Visi BPKP yang baru adalah "Auditor Intern Pemerintah yang Proaktif dan Terpercaya dalam Mentransformasikan Manajemen Pemerintahan Menuju Pemerintahan yang Baik dan Bersih".

Dengan visi ini, BPKP menegaskan akan tugas pokoknya pada pengembangan fungsi preventif. Hasil pengawasan preventif (pencegahan) dijadikan model sistem manajemen dalam rangka kegiatan yang bersifat pre-emptive. Apabila setelah hasil pengawasan preventif dianalisis terdapat indikasi perlunya audit yang mendalam, dilakukan pengawasan represif non justisia. Pengawasan represif non justisia digunakan sebagai dasar untuk membangun sistem manajemen pemerintah yang lebih baik untuk mencegah moral hazard atau potensi penyimpangan (fraud). Tugas perbantuan kepada penyidik POLRI, Kejaksaan dan KPK, sebagai amanah untuk menuntaskan penanganan TPK guna memberikan efek deterrent represif justisia, sehingga juga sebagai fungsi pengawalan atas kerugian keuangan negara untuk dapat mengoptimalkan pengembalian keuangan negara.



B. Sejarah ITJEN KEMENKEU



Dalam rangka pembenahan aparatur pemerintah pada awal berdirinya Orde Baru tahun 1966, berdasarkan Keputusan Presidium Kabinet Nomor 15/U/KEP/8/1966 ditetapkan antara lain kedudukan, tugas pokok dan fungsi Inspektorat Jenderal (Itjen) Departemen. Pembentukan Institusi Itjen pada suatu Departemen pada saat itu dilakukan sesuai kebutuhan. Dengan Keputusan Presidium Kabinet Ampera Nomor 38/U/Kep/9/1966 dibentuk Itjen pada delapan departemen termasuk Departemen Keuangan dan sekaligus mengangkat H.A. Pandelaki sebagai Pejabat Itjen Departemen Keuangan.

Masih dalam Kabinet Ampera, dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 133/Men.Keu/1967 ditetapkan (sambil menunggu pengesahan dari Presidium Kabinet Ampera), pembentukan Badan Alat Pelaksana Utama Pengawasan Departemen Keuangan yaitu Itjen Departemen Keuangan dan mengangkat Gandhi sebagai Pejabat Itjen Departemen Keuangan.

Memasuki masa Kabinet Pembangunan dengan Rencana Pembangunan Lima Tahunnya (Repelita), upaya penyempurnaan aparatur pemerintah baik tingkat pusat maupun di tingkat daerah terus dilanjutkan. Pada awal pelaksanaan Repelita II, terbit Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Organisasi Departemen dan Keputusan Presiden Nomor 45 Tahun 1974 tentang Susunan Organisasi Departemen. Sebagai pelaksanaan dari kedua Keputusan Presiden tersebut, diterbitkanlah Keputusan Menteri Keuangan Nomor 405/MK/6/4/1975 tentang Susunan Orgasnisasi dan Tata Kerja Departemen Keuangan. Pasal 189 Keputusan Menteri Keuangan tersebut menetapkan susunan Organisasi Itjen Departemen Keuangan yang terdiri atas:


Sekretariat


Inspektur Kepegawaian


Inspektur Keuangan dan Perlengkapan


Inspektur Pajak


Inspektur Bea dan Cukai

Dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor Kep-959/KMK.01/1981 , Susunan Organisasi Itjen disempurnakan menjadi sebagai berikut:


Sekretariat


Inspektur Kepegawaian


Inspektur Keuangan


Inspektur Perlengkapan


Inspektur Pajak


Inspektur Bea dan Cukai


Inspektur Umum

Salah satu peristiwa penting yang ikut mewarnai sejarah perkembangan Itjen khususnya Itjen Departemen Keuangan adalah dibentuknya Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 31 tahun 1983. Perangkat/aparat BPKP pada umumnya berasal dari Ditjen Pengawasan Keuangan Negara (DJPKN) yang merupakan salah satu unit/aparat pengawasan fungsional pemerintah di bawah Departemen Keuangan.

Dengan diubahnya DJPKN menjadi BPKP sebagai aparat pengawasan fungsional pemerintah di luar departemen, maka sebagaimana departemen lainnya Departemen Keuangan hanya memiliki satu aparat pengawasan fungsional yaitu Itjen. Mengingat beban tugas semakin berat, dirasakan perlu adanya peninjauan kembali susunan organisasi Itjen Departemen Keuangan, dan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor Kep-800/KMK.01/1985 tanggal 28 September 1985 maka susunan organisasi Itjen Departemen Keuangan diubah menjadi sebagai berikut:


Sekretariat


Inspektur Kepegawaian


Inspektur Keuangan


Inspektur Perlengkapan


Inspektur Anggaran


Inspektur Pajak


Inspektur Bea dan Cukai


Inspektur Umum

Pada Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara terdapat perubahan nomenklatur yang semula Departemen Keuangan menjadi Kementerian Keuangan. Penyesuaian terhadap Peraturan Presiden tersebut diselesaikan dalam jangka waktu paling lambat 6 (enam) bulan sejak tanggal ditetapkan. Memperhatikan bahwa peraturan Presiden ini ditetapkan tanggal 3 November 2009, maka perubahan nomenklatur Kementerian Keuangan diimplementasikan mulai tanggal 3 Mei 2010.

Awal tahun 2011, Kementerian Keuangan melakukan perubahan dalam formasi jajaran pejabat Eselon I dan Eselon II di lingkungan Kementerian Keuangan. Salah satu pejabat yang dilantik adalah Vincentius Sonny Loho sebagai Irjen Kementerian Keuangan yang baru, menggantikan Hekinus Manao yang pada November 2010 dilantik sebagai salah satu Direktur Eksekutif Bank Dunia. Selain itu, perubahan organisasi juga terjadi di Itjen sejak kepemimpinan Hekinus Manao. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 184/KMK.01/2010, susunan organisasi Itjen Kementerian Keuangan diubah menjadi sebagai berikut:


Sekretariat;


Inspektorat I-VII


Inspektorat Bidang Investigasi (IBI).

C. Sejarah BPK

Pasal 23 ayat (5) UUD Tahun 1945 menetapkan bahwa untuk memeriksa tanggung jawab tentang Keuangan Negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan yang peraturannya ditetapkan dengan Undang-Undang. Hasil pemeriksaan itu disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

Berdasarkan amanat UUD Tahun 1945 tersebut telah dikeluarkan Surat Penetapan Pemerintah No.11/OEM tanggal 28 Desember 1946 tentang pembentukan Badan Pemeriksa Keuangan, pada tanggal 1 Januari 1947 yang berkedudukan sementara dikota Magelang. Pada waktu itu Badan Pemeriksa Keuangan hanya mempunyai 9 orang pegawai dan sebagai Ketua Badan Pemeriksa Keuangan pertama adalah R. Soerasno. Untuk memulai tugasnya, Badan Pemeriksa Keuangan dengan suratnya tanggal 12 April 1947 No.94-1 telah mengumumkan kepada semua instansi di Wilayah Republik Indonesia mengenai tugas dan kewajibannya dalam memeriksa tanggung jawab tentang Keuangan Negara, untuk sementara masih menggunakan peraturan perundang-undangan yang dulu berlaku bagi pelaksanaan tugas Algemene Rekenkamer (Badan Pemeriksa Keuangan Hindia Belanda), yaitu ICW dan IAR.

Dalam Penetapan Pemerintah No.6/1948 tanggal 6 Nopember 1948 tempat kedudukan Badan Pemeriksa Keuangan dipindahkan dari Magelang ke Yogyakarta. Negara Republik Indonesia yang ibukotanya di Yogyakarta tetap mempunyai Badan Pemeriksa Keuangan sesuai pasal 23 ayat (5) UUD Tahun 1945; Ketuanya diwakili oleh R. Kasirman yang diangkat berdasarkan SK Presiden RI tanggal 31 Januari 1950 No.13/A/1950 terhitung mulai 1 Agustus 1949.

Dengan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia Serikat (RIS) berdasarkan Piagam Konstitusi RIS tanggal 14 Desember 1949, maka dibentuk Dewan Pengawas Keuangan (berkedudukan di Bogor) yang merupakan salah satu alat perlengkapan negara RIS, sebagai Ketua diangkat R. Soerasno mulai tanggal 31 Desember 1949, yang sebelumnya menjabat sebagai Ketua Badan Pemeriksa Keuangan di Yogyakarta. Dewan Pengawas Keuangan RIS berkantor di Bogor menempati bekas kantor Algemene Rekenkamer pada masa pemerintah Netherland Indies Civil Administration (NICA).

Dengan kembalinya bentuk Negara menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1950, maka Dewan Pengawas Keuangan RIS yang berada di Bogor sejak tanggal 1 Oktober 1950 digabung dengan Badan Pemeriksa Keuangan berdasarkan UUDS 1950 dan berkedudukan di Bogor menempati bekas kantor Dewan Pengawas Keuangan RIS. Personalia Dewan Pengawas Keuangan RIS diambil dari unsur Badan Pemeriksa Keuangan di Yogyakarta dan dari Algemene Rekenkamer di Bogor.

Pada Tanggal 5 Juli 1959 dikeluarkan Dekrit Presiden RI yang menyatakan berlakunya kembali UUD Tahun 1945. Dengan demikian Dewan Pengawas Keuangan berdasarkan UUD 1950 kembali menjadi Badan Pemeriksa Keuangan berdasarkan Pasal 23 (5) UUD Tahun 1945.

Meskipun Badan Pemeriksa Keuangan berubah-ubah menjadi Dewan Pengawas Keuangan RIS berdasarkan konstitusi RIS Dewan Pengawas Keuangan RI (UUDS 1950), kemudian kembali menjadi Badan Pemeriksa Keuangan berdasarkan UUD Tahun 1945, namun landasan pelaksanaan kegiatannya masih tetap menggunakan ICW dan IAR.

Dalam amanat-amanat Presiden yaitu Deklarasi Ekonomi dan Ambeg Parama Arta, dan di dalam Ketetapan MPRS No. 11/MPRS/1960 serta resolusi MPRS No. 1/Res/MPRS/1963 telah dikemukakan keinginan-keinginan untuk menyempurnakan Badan Pemeriksa Keuangan, sehingga dapat menjadi alat kontrol yang efektif. Untuk mencapai tujuan itu maka pada tanggal 12 Oktober 1963, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 7 Tahun 1963 (LN No. 195 Tahun 1963) yang kemudian diganti dengan Undang-Undang (PERPU) No. 6 Tahun 1964 tentang Badan Pemeriksa Keuangan Gaya Baru.

Untuk mengganti PERPU tersebut, dikeluarkanlah UU No. 17 Tahun 1965 yang antara lain menetapkan bahwa Presiden, sebagai Pemimpin Besar Revolusi pemegang kekuasaan pemeriksaan dan penelitian tertinggi atas penyusunan dan pengurusan Keuangan Negara. Ketua dan Wakil Ketua BPK RI berkedudukan masing-masing sebagai Menteri Koordinator dan Menteri.

Akhirnya oleh MPRS dengan Ketetapan No.X/MPRS/1966 Kedudukan BPK RI dikembalikan pada posisi dan fungsi semula sebagai Lembaga Tinggi Negara. Sehingga UU yang mendasari tugas BPK RI perlu diubah dan akhirnya baru direalisasikan pada Tahun 1973 dengan UU No. 5 Tahun 1973 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan.

Dalam era Reformasi sekarang ini, Badan Pemeriksa Keuangan telah mendapatkan dukungan konstitusional dari MPR RI dalam Sidang Tahunan Tahun 2002 yang memperkuat kedudukan BPK RI sebagai lembaga pemeriksa eksternal di bidang Keuangan Negara, yaitu dengan dikeluarkannya TAP MPR No.VI/MPR/2002 yang antara lain menegaskan kembali kedudukan Badan Pemeriksa Keuangan sebagai satu-satunya lembaga pemeriksa eksternal keuangan negara dan peranannya perlu lebih dimantapkan sebagai lembaga yang independen dan profesional.

Untuk lebih memantapkan tugas BPK RI, ketentuan yang mengatur BPK RI dalam UUD Tahun 1945 telah diamandemen. Sebelum amandemen BPK RI hanya diatur dalam satu ayat (pasal 23 ayat 5) kemudian dalam Perubahan Ketiga UUD 1945 dikembangkan menjadi satu bab tersendiri (Bab VIII A) dengan tiga pasal (23E, 23F, dan 23G) dan tujuh ayat.

Untuk menunjang tugasnya, BPK RI didukung dengan seperangkat Undang-Undang di bidang Keuangan Negara, yaitu;


UU No.17 Tahun 2003 Tentang keuangan Negara


UU No.1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara


UU No. 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.